Selasa, 18 November 2008

Bagian 1


SURAT CINTA BUAT BUNDA…

Assalamu’alaikum Warahmatullahi wabarakutuh…

Apa kabar Bunda? Hari ini indah, langit begitu cerah, mentari tersenyum menyapa kita. Mengapa masih ada kabut tipis menyamarkan bening mata Bunda? Jangan iringi langkahku dengan tetes airmata, aku pergi takkan lama. Aku pergi untuk meraih mimpiku yang pernah aku ceritakan dulu. Saat langit dunia menghiasi malam-malam di depan teras rumah kita dengan berjuta bintang, dan memandikannya dengan cahaya purnama. Di saat itulah aku ingin terbang dan memetik satu membawanya pulang buat Bunda.

Bunda…mungkin selembar kertas ini takkan cukup untuk menuangkan berjuta kata sebagai ungkapan rinduku padamu. Namun aku tahu jarak ini takkan pernah memisahkan hati kita. Jauh ini akan semakin mendekatkan kita. Satu kalimat dari Bunda yang selalu terngiang, “Hati-hati di sana”. Akupun cuma mengangguk, karena takkan sanggup aku menjawabnya. Aku khawatir Bunda semakin sedih, melihat air mata ini menetes. Karena aku tahu, saat aku sedih pasti Bunda jauh lebih sedih. Dan saat aku bahagia, pasti Bunda jauh merasa lebih bahagia atas apa yang aku rasa.

Jangan khawatirkan aku Bunda. Karena di sini akupun bisa tersenyum dan tertawa seperti yang Bunda dilihat biasanya. Sungguh, Allah sangat sayang pada ananda. Dengan kemurahan dan kasih sayang-Nya aku telah dipertemukan dengan banyak saudara. Mereka begitu tulus menyayangiku. Di sana aku punya keluarga baru. Masing-masing memiliki keunikan tersendiri.

Ada yang sangat pendiam, tidak pernah aku lihat dia berbicara keras. Sangat hati-hati dalam bertutur dan sangat menjaga perasaan saudaranya. Karena terlalu hati-hatinya itu kadang untuk memperingatkan teman saja dia tahan. Dia begitu khawatir temannya akan tersinggung dan akhirnya akan menjauhinya.

Ada yang terbuka, tanpa tedeng aling-aling dalam berkata. Keras dalam bicara, cepat dalam bertindak tegas dalam bersikap. Cocok jadi polwan. Dia paling jitu kalau diminta untuk mengevaluasi karena tidak ada yang ditutup-tutupi, tidak ada istilah basa-basi. Bagi yang tidak tahu bisa-bisa sakit hati. Kalau aku sih menyikapinya santai aja, udah biasa…satu hal yang unik dari dia, dibalik ketegasannya itu dia masih butuh penguatan sebelum membuat keputusan. Sebelum pergi biasanya dia mengatakn, “Ayolah, beri aku penguatan!..atau ”Beri aku semangat!” .” Jawaban paling singkat yang aku berikan adalah,”Bismillah, Kamu pasti bisa.” Diapun tersenyum dan pergi beraksi.

Ada juga yang sangat jujur dalam banyak hal. Yang model-model seperti ini sering diminta pendapat untuk evaluasi diri. Dia sering jujur tanpa sengaja. Karena memang membawa kultur luar jawa yang begitu terbuka. Bagi yang rebut-ribut soal berat badanya, pasti jujur menjawabnya. Karena kalau teman yang lain biasanya bernada menghibur, orang yang badannya ‘langsung’ dibilang langsing. Tapi kalau dia bisa-bisa jawabnya begini,”Kamu langsing, tapi cuma jari kelingkingnya saja he..he..he”.

Ada lagi saudaraku yang unik. Nada bicaranya seperti anak-anak tapi bisa ibu-ibu dalam bertindak. Karena dia yang paling hoby memasak. Aku bagian menghabiskannya, tanpa susah-susah keluar. Dan lagi dia hampir tidak pernah nolak dimintai bantuan. Saudaraku yang satunya lagi, sukar tidur di malam hari. Jadi ada yang jaga malam dech di sini. Tapi kasihan juga sih…kalau siang jadi lemas dalam beraktivitas. Kami cuma bisa berdoa untuk dia.

Masih ada lagi Bunda… Kalau yang ini biasa-biasa saja. Bahkan sering bikin ‘ulah’ baik di dalam maupun di luar rumah, membuat orang ‘resah’, dan sebagian orang merasa terusik ‘ketenangan’ dan ‘kenyamanan’nya. Bunda tentu lebih paham tentang dia. Bunda sendiri sering menjadi korbannya. Tapi Bunda suka kan…? Dan merasa ada yang kurang kalau nggak ada yang gangguin Bunda.he..he..he..Bunda jangan bersedih dan khawatir kalau sampai dia dibenci dan dijauhi orang sekitar karena ‘ulah’nya itu. Biarkan saja dia merasakannya, memang itu resiko yang harus dihadapi oleh orang-orang yang suka bikin ‘ulah’ seperti dia. Tapi tenang saja Bunda dia sudah siap kok menghadapinya…maju terus pantang mundur…kan dah banyak belajar dari bunda. He..he..he. Kalau seandainya seluruh penduduk bumi ini membencinya hanya karena dia ingin meraih cinta penduduk langit, sungguh… dia rela menerimanya dengan hati yang tulus dan ikhlas. Kalaupun pintu-pintu di bumi ini tertutup untuk dia, sesungguhnya pintu-pintu langit senantiasa terbuka untuknya.

Bunda harus ingat…bahwa baik dan buruk, benar dan salah bukan manusia yang menentukannya. Apa-apa yang dicintai manusia dan didetujui oleh kebanyakan mereka belum tentu baik. Apa-apa yang dibenci manusia dan hanya disetujui oleh minoritas saja belum tentu buruk. Karena baik atau buruk, benar atau salah hanyalah Allah yang berhak untuk menentukannya. Bukan berdasarkan pada ukuran manusia. Sebagaimana firman Allah yang artinya:”...boleh jadi kamu membenci sesuatu padahal dia baik bagimu, boleh jadi kamu menyukai sesuatu padahal dia buruk bagimu, sesungguhnya Allah Maha Tahu sedangkan kamu tidak mengetahui”. (TQS. Al-Baqarah, 2:214). Allah sangat sayang pada kita semua ya Bunda. Sehingga kitapun diajari bagaimana cara menjalani hidup di dunia ini. Bunda diajari cara menyayangi ananda, begitu juga sebaliknya. Sampai-sampai kitapun dipilihkan pakaian yang bagus untuk menutup aurat kita. Inilah pakaian yang telah dipilih Allah untuk kita kaum wanita. Jilbab dan khimar. Sebagaimana firman Allah dalam Al-Quran.


Hendaklah mereka menutupkan kain kerudung ke dadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya.” (Qs. an-Nuur [24]: 31).


Wahai Nabi katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mu’min: ‘Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya.” (Qs. al-Ahzab [33]: 59).


Meski kelihatan beda dengan yang lainnya dan terasa seperti asing bagi sebagian orang, itu tidak jadi soal. Bukankah Islam itu datang dalam keadaan asing dan akan kembali menjadi asing pula. Beruntunglah orang-orang yang dianggap asing itu. Sebagaimana sabda Nabi:


Islam bermula dalam keadaan asing. Dan ia akan kembali menjadi sesuatu yang asing. Maka beruntunglah orang-orang yang terasing itu.” [HR. Muslim].

Tapi saya heran, kenapa masih ada orang yang tidak suka memakai pakaian yang telah dipilihkan Allah untuknya. Padahal uang mereka berlimpah, jangankan hanya untuk membeli kain sebagai penutup auratnya, membeli toko sekalian menggaji karyawannyapun mereka lebih dari bisa. Bukankah Allah lebih mengerti apa yang dibutuhkannya dan tahu apa yang terbaik untuk dia. Ataukah karena surat cinta dari Allah hanya dilafalkan saja tanpa dipahami maknanya dan hanya sebagai penghias buffet atau lemari kaca, dan lembar demi lembarnya menjadi rekat antara yang satu dengan yang lainnya karena jarang dibuka. Atau bahkan sekedar dibuat perlombaan yang menghabiskan dana. Tetapi tidak ada aplikasinya. Seperti itukah cara seorang hamba membalas cinta dari penciptanya?

Surat cinta itu bernama Al-Quran. Di dalamnya mengatur seluruh aspek kehidupan. Mengatur hubungan manusia dengan Allah, hubungan manusia dengan manusia yang lainnya, hubungan manusia dengan dirinya sendiri. Mengatur tata cara berkeluarga, bermasyarakat bahkan bernegara. Tapi apa yang kita lihat sekarang sungguh menyedihkan Bunda. Karena manusia merasa ‘pintar’ jadi meraka membuat aturan sendiri tanpa mempedulikan isi dari al-Quran. Betapa seringnya kita jumpai meraka bermusyawarah hanya untuk menerapkan satu ayat saja. Mereka minta pendapat manusia untuk menerapkan aturan Allah. Tapi pernahkah mereka minta pendapat Allah ketika mau menerapkan aturan yang telah dibuatnya? Kebenaran mereka ukur dari suara mayoritas. Mereka takut dijauhi manusia dan dibencinya saat ingin dekat kepada Allah dengan menerapkan aturannya. Bukankah kebencian manusia tidak akan dapat memasukkan mereka ke neraka. Cinta manusia tidak akan dapat memasukannya ke surga. Surga dan neraka adalah milik Allah. Oleh karena itulah tujuan akhir dari segala aktivitas kita adalah teraihnya ridlo-Nya. Standar kebahagiaan kita adalah dapat menggapai keridloan-Nya.

Sekian dulu ya Bunda…kali lain kita sambung lagi…ilal liqo Bunda…


(Bagian 2)

SURAT CINTA BUAT BUNDA…


Assalamu’alaikum Warahmatullahi wabarakutuh…

Apa kabar Bunda? Moga senantiasa dalam lindungan-Nya. Masih ingat cerita tentang si ‘pembuat ulah’? Bunda tahu nggak, dilihat sepintas mungkin nggak ada sesuatu yang lebih dari anak yang suka bikin itu. Bunda saja yang rela dianggap berlebihan oleh orang karena begitu mengistimewakannya. Layaknya benda antik dan unik, tak sembarangan orang bisa menyentuhnya. Bunda sangat khawatir kalau dia sampai jatuh ke pihak yang tidak berhak , bahkan mungkin Bunda akan meneteskan airmata kalau dia sampai terlepas dari tangan yang seharusnya bisa dipercaya untuk menjaganya. Jangan sedih dan khawatir Bunda, karena ada Allah di dekatnya dan akan selalu menjaganya. Allah takkan membiarkan airmatanya menetes tanpa menyekanya. Takkan membiarkan dia memanggil tanpa menjawabnya. Takkan membiarkan dia terluka tanpa mengobatinya. Satu hal yang tidak boleh dilupakan Bunda , dia itu milik Allah yang dipinjamkan pada Bunda. Tentu Allah akan selalu menjaga, mengasihi, mencintai, dan menyayanginya.

Bunda tahu nggak, aku di sini bisa seperti Bunda. Karena Aku punya banyak sahabat yang sudah menjadi Ibu seperti halnya Bunda. Mereka berbicara mengenai kondisi rumah tangga mereka. Bagaimana memahami suami, melatih kesabaran dalam menghadapi anak-anak, menjaga silaturrahim dengan orang tua, mertua bahkan ipar mereka. Ketika ngobrol bersama, serasa usiaku sama dengan mereka. Seakan-akan aku berada dalam dunia mereka, dan mencoba merasakan rasa sedih dan senang mereka ketika ada persoalan itu datang menimpa. Ada juga yang sudah nenek-nenek. Beliau memiliki semangat yang tidak kalah membaranya dengan yang muda. Aku banyak belajar dari mereka semua. Mereka sungguh luar biasa Bunda. Tidak pernah malu menanyakan hal-hal yang belum mereka ketahui kepada yang lebih muda. Memiliki semangat belajar yang sangat tinggi. Sangat sayang kepada kami semua. Kami dianggapnya seperti anak-anaknya.

Di sisi lain aku diperlakukan seperti kakak bagi sahabat-sahabat yang lebih muda, juga dianggap sebagai adik bagi sahabat-sahabat yang lebih tua. Kami saling menyayangi. Jika ada yang semangatnya mulai padam, kami berupaya untuk menyalakannya. Bila kami ragu untuk melangkahkan kaki dalam kebenaran maka kami berupaya untuk menguatkan dan meyakinkan. Saling menghibur di kala ada yang sedih. Saling mendoakan untuk kebaikan kami semua. Mereka tidak pernah merelakan diri ini terluka.

Dan yang tidak boleh dilupa adalah guru-guru saya. Subhanallah Bunda…beliau-beliau adalah orang-orang hebat yang dihadirkan Allah di muka bumi ini. Bagaikan mentari di kala siang, yang menerangi bumi dan menawarkan energi kehidupan. Tapi laksana bulan dan bintang di kala malam. Berkelip indah dan tetap bersinar terang di tengah kegelapan. Nasehat-nasehatnya menentramkan, penunjuk ke arah jalan keridloan, pengingat di kala lupa penyemangat di kala putus asa. Keteladanannya sungguh luar biasa, kesabarannya sungguh mempesona, semangatnya seakan tak pernah sirna dimakan usia. Tak enggan berbagi ilmu dan pengalaman. Bahkan tak pernah bosan menasehati kami walau tanpa diminta. Kalimat-kalimat hikmahnya senantiasa ditunggu oleh kami semua.

Sungguh besar nikmat yang diberikan Allah kepada kita. Oleh karena itu jangan bersedih di kala kita masih belum bertemu dalam waktu lama. Jarak dan waktu begitu membatasi kita. Seringkali kita belum saling puas memandang dan berbagi cerita tapi harus berpisah...

Sekian dulu ya Bunda...kapan-kapan di sambung lagi







Senin, 03 November 2008

PERPISAHAN...

PERPISAHAN...


Adakah yang membuat pertemuan terasa sangat berarti selain datangnya perpisahan? Adakah sesuatu yang membuat segala yang telah dilalui menjadi memori indah selain datangnya perpisahan?Adakah rasa sesal yang begitu dalam saat diri belum sempat membalas kebaikannya dan melaksanakan rencana yang telah disusun bersama selain datangnya perpisahan? Adakah luka yang begitu dalam saat diri telah melukainya dan belum sempat mengobatinya selain datangnya perpisahan? Adakah yang lebih menyedihkan disaat harus mengakhiri kebersamaan selain datangnya perpisahan? Adakah yang membuat seperti terasa ada yang kurang saat ada yang tak lagi disini selain datangnya perpisahan? Adakah yang membuat airmata menetes, bibir tertutup rapat karena tak sanggup berkata meski sekedar ucapan ‘selamat jalan’, selain datangnya perpisahan? Adakah yang membuat diri terkenang akan seluruh hal sekecil apapun yang pernah dilalui bersama selain datangnya perpisahan?

Semuanya terasa begitu berarti. Meski hanya sekedar suara ketukan pintu atau suara alarm di sepertiga malam untuk membangunkan, atau untaian kalimat-kalimat hikmah yang kau sampaikan menjelang tidurnya. Masih ingatkah kau saat dia rela tak berselimut karena tidak tega melihatmu kedinginan dan digigit nyamuk. Dikala makanan di rumah yang tersisa satu porsi sedangkan masih ada yang belum makan, diapun menunggu sampai kau datang. Saat kau datang dan dia telah ketiduran karena menunggumu, kaupun tak tega membangunkannya. Dan demi mengutamakan yang lainnya kalian tidur dalam lapar semua. Karena kalian khawatir, saat bangun nasi sudah tak ada. Saat sakit menghampiri, tanpa dimintapun dengan setulus hati sahabat itu mengobati. Mungkin hanya sekedar memasakkan air hangat, atau bubur atau membawa ke puskesmas, semuanya dilakukan tanpa mengharap balasan. Karena dia lakukan semuanya untuk tujuan yang satu, ridlo Allah. Rasulullah bersabda yang artinya: “Sesungguhnya kelak di hari kiamat Allah akan berfirman, “Dimana orang-orang yang saling mencintai karena keagungan-Ku?Pada hari ini Aku memberikan naungan kepadanya dalam naungan-Ku disaat tidak ada naungan kecuali naungan-Ku” (HR. Muslim)

Perhatikanlah dia…senyum itu kembali menghiasi bibirnya saat menyaksikanmu bahagia Meski masih tersisa gurat kesedihan karena kau harus pergi meninggalkannya. Namun kesedihan itu tiada artinya dan segera terhapus saat tawamu tak lagi tertahan dan senyummu tak lagi dipaksakan. Lihatlah dia saat melihatmu rapuh dan sedih, airmatanyapun menetes. Berharap tiap butirannya dapat menghapus lukamu dengan ijin-Nya dan berharap sedikit mengurangi bebanmu karena kamu tak sendiri dalam menanggungnya dan dia telah kembali terenyum dan tertawa menyaksikanmu bahagia. Diapun tak lupa menyertakanmu dalam bait-bait doa di tiap sujudnya,agar pertemuan abadi itu bukan romantisme belaka. Agar persahabantan ini tak hanya di dunia tapi di akhirat sana. Di surga yang luasnya seluas bumi dan langit….Hanya orang sepertimu yang dapat membuatnya tersenyum dan meneteskan airmata dalam waktu yang bersamaan. Pernahkah kau merasa bahwa dirimu begitu memberi arti dalam hidupnya, menempati sebagian besar ruang hatinya. Kau telah menjadi energi bagi dia untuk terus melangkah menapaki hari-harinya. Menjadi riak-riak kecil kala sepinya.

Kamis, 21 Agustus 2008

DIAM

DIAM

Juli’08


Ketika hanya diam yang bicara, untaian kata seakan kehilangan makna. Tak ada suara. Semua tertahan sibuk dengan dialog batin masing-masing. Tanyapun belum menemukan jawab. Ada apa? Diam jawabnya. Saat dirimu merasa, kata dalam bicaramu menyakiti sesama, maka kau menahannya dalam diammu tanpa sepatah kata. Akupun turut larut dalam diam, tanpa berani mulai bicara. Hanya hatiku yang berkata. Mencoba menjawab, deretan kata hati dalam suasana diammu.

Kau berharap tak ada yang tersakiti kala diammu memulai. Namun sungguh diam itu sungguh meresahkan kelemahan hati ini yang tak mampu memahami arti dibalik diammu itu. Tiada dapat aku dengar bait demi bait kata yang terucap saat diammu bicara. Hingga sangka mendera, duga bertanya. Apa diammu karena bicaraku.

Sungguh aku sebenarnya belum sanggup larut. Karena aku tak ingin ada apa-apa. Aku ingin semuanya baik-baik saja. Kalau kau ada masalah, bicaralah. Meski belum mampu aku menyelesaikan, namun setidaknya telinga dan hati ini akan senantiasa terbuka buat mendengarmu bicara. Meski aku belum dokter yang dapat mengobati, atau seorang guru yang dapat mengajari tentang makna dan arti hidup ini. Namun kau harus ingat aku adalah seorang sahabat yang berupaya untuk ada, saat kau hilang maupun berada.

Aku tak akan mengubahmu menjadi seperti orang lain, kau tetap dirimu dengan segala keunikan yang menyertaimu. Aku ingin bersamaku kau mampu menjadi dirimu sendiri seperti yang kau mau. Tanpa membelenggu diri dalam bingkai kelemahan dan keterbatasanmu. Aku akan berupaya membantumu memahami dirimu. Agar penilaianmu terhadap “aku”mu, menjadikan diri lebih dari yang dipahami. Dan ternyata memang sebenarnya kau bisa melakukannya. Menjadi lebih baik dari segala hal baik yang memang telah ada dalam dirimu.

Hatiku pedih saat kau mengatakan,”aku ada masalah berat, dan aku tak bisa menyampaikan kepada siapapun, termasuk kepada sahabat terdekat sekalipun. Menangispun aku tak bisa, meski kesedihan ini seakan tak sanggup aku menanggungnya. Dadaku sampai sakit karena aku sulit menumpahkan segala beban di hati ini. Baik lewat kata maupun airmata.” Akupun tak bisa memaksamu untuk bicara. Karena sepertinya kau hanya ingin, orang tahu bahwa saat ini kau ada masalah. Akupun hanya bisa menyampaikan, agar kau mengungkapkannya kepada Allah. Jika kepada manusia dirimu tidak bisa mengungkapkan. Namun tidak demikian halnya kepada Allah. Kau harus bisa. Allah tidak akan pernah menolakmu. Dia selalu mendengarmu dan tahu apa yang tampak maupun yang kau sembunyikan. Berharaplah hanya pada-Nya. Karena Dia-lah yang dapat mengabulkan doa, menyembuhkan segala sakit dan menerima segala pinta.

Sahabatku,…maafkan atas segala kelemahanku, yang masih belum mampu berlapangdada dengan sikapmu. Maafkan aku yang sedikitpun takkan pernah bisa merelakanmu larut dalam duka. Tanpa sedikitpun kau mau berbagi. Seperti halnya anggota tubuh, pernahkah kau melihat, bibir tersenyum dan tangan saling bertepuk dikala airmata menetes. Bukankah sahabat itu seperti tangan dan mata, saat mata menangis, tangan mengusapkan. Saat tangan sakit maka mata menangis karenanya. Aku ingin melihatmu tersenyum, seperti biasanya, aku ingin mendengar canda dan tawamu seperti hari kemarin. Saat kau cerita tentang segala kisah suka dukamu, airmata bahagiamu, saat kau berkisah tentang kejadian-kejadian seru dalam perjalananmu.

Bukannya aku menyuruhmu untuk hidup dalam kepura-puraan yang harus memperlihatkan senyum saat hati dilanda kehancuran. Aku bukannya menginginkanmu menjadi seperti dia yang berupaya tersenyum dan tertawa saat duka melanda. Berusaha menghadirkan kehangatan meski hati sedang dilanda kebekuan. Berupaya mengucapkan,”bi khoir alhamdulillah, aku baik-baik saja.”. Saat ada yang tanya,”apa kabar, sehat-sehat saja kan?” Meski hati terasa berat mengatakan, dan bahkan kadang bibir seakan tidak mampu mengucapkan, karena harus melawan kondisi yang sedang terjadi. Membohongi diri sendiri juga orang lain. Tentang keadaan diri, karena tidak ingin orang lainpun larut dalam dukanya. Karena dia pernah mengatakan bahwa kalau dirinya tersenyum biarlah senyum itu untuk semua, tapi kalau dia meneteskan airmata, biarlah ini untuknya saja. Meski ada yang bilang dirinya seperti lilin yang mampu menerangi sekitarnya meski dirinya akhirnya hancur lebur karenanya.

Sahabatku, aku tahu tidak semua hal yang ada padamu harus aku tahu, mereka bilang,”privacy”. Mereka juga bilang itu kan urusan dia yang penting tidak menggangguku ya sudah. Tapi pernahkah ada dalam satu tubuh itu, saat salahsatu bagian sakit lalu yang lainnya tertawa. Pernahkah tangan membiarkan airmata menetes di pipi tanpa menyekanya. Aku hanya ingin melihat senyummu merekah kembali. Seperti hari-hari yang telah lalu.

Kini meski kau jauh, dan kesedihan ini takkan mampu memanggilmu kembali. Tangan ini tak kuasa menarikmu. Langkah kaki ini tak dapat mengejarmu, namun hati ini senantiasa dekat padamu. Dan aku akan senantiasa menunggumu hadirmu. Sahabatku, adikku...kini kau telah bahagia mendapatkan apa yang kau cari...semoga ridlo Allah senantiasa menyertaimu.

Kamis, 14 Agustus 2008

Ternyata Aku Bisa..

Ternyata Aku Bisa...

Seakan aku tak percaya, gelap telah hampir sirna. Malam beranjak pergi, pagi segera mengganti. Bintang semalam yang berkelip menghiasai langit dengan cahaya peraknya, mengusir kengerian malam, menantang kegelapan, penghilang rasa takut dalam kesendirian.

Bintang tersenyum menyapa,“Sahabatku, kini malammu tak lagi gelap, karena ada cahayaku yang menerangimu, kini takut takkan lagi mencekammu karena ada aku yang akan menemanimu, tapi, maukah kamu bersahabat denganku.”

“Bersahabat denganmu,...tempatmu terlalu tinggi, bisakah aku menggapaimu?” kataku.

Bintang berkata,”Jawab dulu pertanyaanku, mau tidak bersahabat denganku, aku akan menjadi mimpi indah dalam tidurmu, aku akan menjadi melodi yang berirama menyanyikan lagu tentang persahabatan kita.”

“Aku belum yakin bisa, karena aku tak sehebat dirimu yang mampu memancarkan cahaya pesona indah meski gelap menghantammu, sedang aku hanya memantulkan sinarmu yang sempat mengenaiku, tidakkah aku menjadi mendung yang menghalangi sinarmu. Hingga buram diterima bumi."

Bintang seperti terburu-buru, karena disana sudah ada yang menunggu. Bintang berkali-kali memberi ketegasan. Dan aku masih terpekur dalam kebingungan dan keraguan. Mungkinkah...

“Aku tak bisa lama menunggu, selagi malam masih belum sepertiga, aku menantimu untuk segera, dan aku akan menunggu kepastian dan memberikan sinarku yang paling terang menjadi penghias malammu, bunga-bunga dalam lelap tidurmu. Selagi fajar belum mengganti, aku senantiasa di sini, selalu ada bersama. Teman dikala suka, penghibur dikala duka. Akulah penyeka airmatamu sebelum menetes di pipi.” Bintang mencoba meyakinkan.

Setelah waktu berjalan beberapa lama, akhirnya keraguanpun sirna. Bintang tidak sedang bercanda, aku yakin itu...

“Bintang, aku bisa. Aku mau menjadi sahabatmu. Tunggu aku jangan pergi dulu. Aku takut sendirian, malam masih gelap begini mengapa kamu terburu-buru hendak pergi, fajar masih belum mengganti, bintang jangan pergi dulu...” akupun memberi jawaban, yang pertama dan mungkin terakhir.

“Sahabatku, lihatlah di ufuk sana, benang-benang putih telah teranyam menutup lukisan gelapnya. Fajar telah hampir tiba, bukalah matamu, gelap itupun takkan lagi ada, bangun dari tidurmu, bangkit dan berlarilah wujudkan mimpimu, walau aku tak terlihat ada, saat mentari begitu kuat sinarnya, sesungguhnya aku selalu ada, untuk menyertaimu dalam tidur maupun terjagamu. Adalah dirimu wahai sahabatku, mengapa tidak menyampaikan semenjak awal waktu itu, saat senja telah sirna, di kala pintu malam barusan terbuka, disaat itu aku menunggu dan selalu menunggu. Dan kini maafkan aku, bila kau tak lagi bisa melihatku, dikala pagi telah menyapa mengantikan gelap malammu. Akupun tak lagi bisa menghiasimu, aku kecewa atas diammu, yang menjadikanmu terlambat memanggilku, saat malam hampir beranjak pergi tergantikan pagi, meski aku kecewa namun aku tak sakit hati padamu, karena kau tetap sahabatku.”

Bintangpun akhirnya tetap pergi. Membawa sekeping hati, untuk tetap menghiasi gelap malam hari, dan menjadi petunjuk arah bagi para nelayan yang mengarungi samudra khidupan. Aku sendiri menjalani malam-malamku. Terasa gelap, mencekam dan menakutkan. Dan ternayata meski tanpa adanya dirimu, aku tetap bisa bersedih, aku tetap bisa meneteskan airmata. Aku mengira hanya karena ada bersamamu sedih ini akan menjelma. Hanya saat denganmu galau ini tercipta.

Bersamamu aku pernah merasa hilang, dan kini tanpamu aku masih belum bisa menemukan diriku yang hilang. Tapi aku terus mencoba berjalan menyusuri jejak yang pernah terlewati, akan aku temukan diriku yang hilang. Kembali menjadi aku yang seperti pertama kali kau mengenalku. Dan aku takkan lagi hilang. Aku tetap berada, menuysuri tepian lorong jiwa yang sempat dihempas oleh badai dan gelombang. Hempasan itu yang membuatku terbangun dari tidur, terjaga dari mimpi panjang, tersadar dari lamunan tak berkesudahan. Bintang telah mengajariku banyak hal. Bintang mengajarkan bahwa malam tak selamanya gelap, karena pagi akan segera menyapa untuk menyinari. Hembusan bayu, tetes airmata yang mengalir membasahi keringnya jiwa, lantunan pengharapan dan doapun merupakan hiasan malam yang tak kalah indahnya. Ada kedamaian saat hening, ada keindahan dalam kesendirian. Karena Dia senantiasa hadir, Dia selalu menunggu. Dan kepada-Nya diri ini menuju. Dialah Allah yang takkan pernah meninggalkan diri ini, selalu hadir dan bahkan lebih dekat dari urat nadi. Terimakasih ya Rabb, Engkau telah berkenan mempertemukan aku dengan sahabat yang baik hati. Lebih dari sekedar sahabat, dia adalah guru bagi sekolah kehidupan ini...yang jauh dan dekatnya, datang maupun perginya dapat mendekatkan diri ini kepada-MU...