Kamis, 21 Agustus 2008

DIAM

DIAM

Juli’08


Ketika hanya diam yang bicara, untaian kata seakan kehilangan makna. Tak ada suara. Semua tertahan sibuk dengan dialog batin masing-masing. Tanyapun belum menemukan jawab. Ada apa? Diam jawabnya. Saat dirimu merasa, kata dalam bicaramu menyakiti sesama, maka kau menahannya dalam diammu tanpa sepatah kata. Akupun turut larut dalam diam, tanpa berani mulai bicara. Hanya hatiku yang berkata. Mencoba menjawab, deretan kata hati dalam suasana diammu.

Kau berharap tak ada yang tersakiti kala diammu memulai. Namun sungguh diam itu sungguh meresahkan kelemahan hati ini yang tak mampu memahami arti dibalik diammu itu. Tiada dapat aku dengar bait demi bait kata yang terucap saat diammu bicara. Hingga sangka mendera, duga bertanya. Apa diammu karena bicaraku.

Sungguh aku sebenarnya belum sanggup larut. Karena aku tak ingin ada apa-apa. Aku ingin semuanya baik-baik saja. Kalau kau ada masalah, bicaralah. Meski belum mampu aku menyelesaikan, namun setidaknya telinga dan hati ini akan senantiasa terbuka buat mendengarmu bicara. Meski aku belum dokter yang dapat mengobati, atau seorang guru yang dapat mengajari tentang makna dan arti hidup ini. Namun kau harus ingat aku adalah seorang sahabat yang berupaya untuk ada, saat kau hilang maupun berada.

Aku tak akan mengubahmu menjadi seperti orang lain, kau tetap dirimu dengan segala keunikan yang menyertaimu. Aku ingin bersamaku kau mampu menjadi dirimu sendiri seperti yang kau mau. Tanpa membelenggu diri dalam bingkai kelemahan dan keterbatasanmu. Aku akan berupaya membantumu memahami dirimu. Agar penilaianmu terhadap “aku”mu, menjadikan diri lebih dari yang dipahami. Dan ternyata memang sebenarnya kau bisa melakukannya. Menjadi lebih baik dari segala hal baik yang memang telah ada dalam dirimu.

Hatiku pedih saat kau mengatakan,”aku ada masalah berat, dan aku tak bisa menyampaikan kepada siapapun, termasuk kepada sahabat terdekat sekalipun. Menangispun aku tak bisa, meski kesedihan ini seakan tak sanggup aku menanggungnya. Dadaku sampai sakit karena aku sulit menumpahkan segala beban di hati ini. Baik lewat kata maupun airmata.” Akupun tak bisa memaksamu untuk bicara. Karena sepertinya kau hanya ingin, orang tahu bahwa saat ini kau ada masalah. Akupun hanya bisa menyampaikan, agar kau mengungkapkannya kepada Allah. Jika kepada manusia dirimu tidak bisa mengungkapkan. Namun tidak demikian halnya kepada Allah. Kau harus bisa. Allah tidak akan pernah menolakmu. Dia selalu mendengarmu dan tahu apa yang tampak maupun yang kau sembunyikan. Berharaplah hanya pada-Nya. Karena Dia-lah yang dapat mengabulkan doa, menyembuhkan segala sakit dan menerima segala pinta.

Sahabatku,…maafkan atas segala kelemahanku, yang masih belum mampu berlapangdada dengan sikapmu. Maafkan aku yang sedikitpun takkan pernah bisa merelakanmu larut dalam duka. Tanpa sedikitpun kau mau berbagi. Seperti halnya anggota tubuh, pernahkah kau melihat, bibir tersenyum dan tangan saling bertepuk dikala airmata menetes. Bukankah sahabat itu seperti tangan dan mata, saat mata menangis, tangan mengusapkan. Saat tangan sakit maka mata menangis karenanya. Aku ingin melihatmu tersenyum, seperti biasanya, aku ingin mendengar canda dan tawamu seperti hari kemarin. Saat kau cerita tentang segala kisah suka dukamu, airmata bahagiamu, saat kau berkisah tentang kejadian-kejadian seru dalam perjalananmu.

Bukannya aku menyuruhmu untuk hidup dalam kepura-puraan yang harus memperlihatkan senyum saat hati dilanda kehancuran. Aku bukannya menginginkanmu menjadi seperti dia yang berupaya tersenyum dan tertawa saat duka melanda. Berusaha menghadirkan kehangatan meski hati sedang dilanda kebekuan. Berupaya mengucapkan,”bi khoir alhamdulillah, aku baik-baik saja.”. Saat ada yang tanya,”apa kabar, sehat-sehat saja kan?” Meski hati terasa berat mengatakan, dan bahkan kadang bibir seakan tidak mampu mengucapkan, karena harus melawan kondisi yang sedang terjadi. Membohongi diri sendiri juga orang lain. Tentang keadaan diri, karena tidak ingin orang lainpun larut dalam dukanya. Karena dia pernah mengatakan bahwa kalau dirinya tersenyum biarlah senyum itu untuk semua, tapi kalau dia meneteskan airmata, biarlah ini untuknya saja. Meski ada yang bilang dirinya seperti lilin yang mampu menerangi sekitarnya meski dirinya akhirnya hancur lebur karenanya.

Sahabatku, aku tahu tidak semua hal yang ada padamu harus aku tahu, mereka bilang,”privacy”. Mereka juga bilang itu kan urusan dia yang penting tidak menggangguku ya sudah. Tapi pernahkah ada dalam satu tubuh itu, saat salahsatu bagian sakit lalu yang lainnya tertawa. Pernahkah tangan membiarkan airmata menetes di pipi tanpa menyekanya. Aku hanya ingin melihat senyummu merekah kembali. Seperti hari-hari yang telah lalu.

Kini meski kau jauh, dan kesedihan ini takkan mampu memanggilmu kembali. Tangan ini tak kuasa menarikmu. Langkah kaki ini tak dapat mengejarmu, namun hati ini senantiasa dekat padamu. Dan aku akan senantiasa menunggumu hadirmu. Sahabatku, adikku...kini kau telah bahagia mendapatkan apa yang kau cari...semoga ridlo Allah senantiasa menyertaimu.

Kamis, 14 Agustus 2008

Ternyata Aku Bisa..

Ternyata Aku Bisa...

Seakan aku tak percaya, gelap telah hampir sirna. Malam beranjak pergi, pagi segera mengganti. Bintang semalam yang berkelip menghiasai langit dengan cahaya peraknya, mengusir kengerian malam, menantang kegelapan, penghilang rasa takut dalam kesendirian.

Bintang tersenyum menyapa,“Sahabatku, kini malammu tak lagi gelap, karena ada cahayaku yang menerangimu, kini takut takkan lagi mencekammu karena ada aku yang akan menemanimu, tapi, maukah kamu bersahabat denganku.”

“Bersahabat denganmu,...tempatmu terlalu tinggi, bisakah aku menggapaimu?” kataku.

Bintang berkata,”Jawab dulu pertanyaanku, mau tidak bersahabat denganku, aku akan menjadi mimpi indah dalam tidurmu, aku akan menjadi melodi yang berirama menyanyikan lagu tentang persahabatan kita.”

“Aku belum yakin bisa, karena aku tak sehebat dirimu yang mampu memancarkan cahaya pesona indah meski gelap menghantammu, sedang aku hanya memantulkan sinarmu yang sempat mengenaiku, tidakkah aku menjadi mendung yang menghalangi sinarmu. Hingga buram diterima bumi."

Bintang seperti terburu-buru, karena disana sudah ada yang menunggu. Bintang berkali-kali memberi ketegasan. Dan aku masih terpekur dalam kebingungan dan keraguan. Mungkinkah...

“Aku tak bisa lama menunggu, selagi malam masih belum sepertiga, aku menantimu untuk segera, dan aku akan menunggu kepastian dan memberikan sinarku yang paling terang menjadi penghias malammu, bunga-bunga dalam lelap tidurmu. Selagi fajar belum mengganti, aku senantiasa di sini, selalu ada bersama. Teman dikala suka, penghibur dikala duka. Akulah penyeka airmatamu sebelum menetes di pipi.” Bintang mencoba meyakinkan.

Setelah waktu berjalan beberapa lama, akhirnya keraguanpun sirna. Bintang tidak sedang bercanda, aku yakin itu...

“Bintang, aku bisa. Aku mau menjadi sahabatmu. Tunggu aku jangan pergi dulu. Aku takut sendirian, malam masih gelap begini mengapa kamu terburu-buru hendak pergi, fajar masih belum mengganti, bintang jangan pergi dulu...” akupun memberi jawaban, yang pertama dan mungkin terakhir.

“Sahabatku, lihatlah di ufuk sana, benang-benang putih telah teranyam menutup lukisan gelapnya. Fajar telah hampir tiba, bukalah matamu, gelap itupun takkan lagi ada, bangun dari tidurmu, bangkit dan berlarilah wujudkan mimpimu, walau aku tak terlihat ada, saat mentari begitu kuat sinarnya, sesungguhnya aku selalu ada, untuk menyertaimu dalam tidur maupun terjagamu. Adalah dirimu wahai sahabatku, mengapa tidak menyampaikan semenjak awal waktu itu, saat senja telah sirna, di kala pintu malam barusan terbuka, disaat itu aku menunggu dan selalu menunggu. Dan kini maafkan aku, bila kau tak lagi bisa melihatku, dikala pagi telah menyapa mengantikan gelap malammu. Akupun tak lagi bisa menghiasimu, aku kecewa atas diammu, yang menjadikanmu terlambat memanggilku, saat malam hampir beranjak pergi tergantikan pagi, meski aku kecewa namun aku tak sakit hati padamu, karena kau tetap sahabatku.”

Bintangpun akhirnya tetap pergi. Membawa sekeping hati, untuk tetap menghiasi gelap malam hari, dan menjadi petunjuk arah bagi para nelayan yang mengarungi samudra khidupan. Aku sendiri menjalani malam-malamku. Terasa gelap, mencekam dan menakutkan. Dan ternayata meski tanpa adanya dirimu, aku tetap bisa bersedih, aku tetap bisa meneteskan airmata. Aku mengira hanya karena ada bersamamu sedih ini akan menjelma. Hanya saat denganmu galau ini tercipta.

Bersamamu aku pernah merasa hilang, dan kini tanpamu aku masih belum bisa menemukan diriku yang hilang. Tapi aku terus mencoba berjalan menyusuri jejak yang pernah terlewati, akan aku temukan diriku yang hilang. Kembali menjadi aku yang seperti pertama kali kau mengenalku. Dan aku takkan lagi hilang. Aku tetap berada, menuysuri tepian lorong jiwa yang sempat dihempas oleh badai dan gelombang. Hempasan itu yang membuatku terbangun dari tidur, terjaga dari mimpi panjang, tersadar dari lamunan tak berkesudahan. Bintang telah mengajariku banyak hal. Bintang mengajarkan bahwa malam tak selamanya gelap, karena pagi akan segera menyapa untuk menyinari. Hembusan bayu, tetes airmata yang mengalir membasahi keringnya jiwa, lantunan pengharapan dan doapun merupakan hiasan malam yang tak kalah indahnya. Ada kedamaian saat hening, ada keindahan dalam kesendirian. Karena Dia senantiasa hadir, Dia selalu menunggu. Dan kepada-Nya diri ini menuju. Dialah Allah yang takkan pernah meninggalkan diri ini, selalu hadir dan bahkan lebih dekat dari urat nadi. Terimakasih ya Rabb, Engkau telah berkenan mempertemukan aku dengan sahabat yang baik hati. Lebih dari sekedar sahabat, dia adalah guru bagi sekolah kehidupan ini...yang jauh dan dekatnya, datang maupun perginya dapat mendekatkan diri ini kepada-MU...